Hakikat Seberkas Makalah Ilmiah
|
Shutterstock
Ilustrasi
Terry Mart
KOMPAS.com
- Tajuk rencana Kompas, 8 Februari lalu, jernih dan obyektif
membeberkan masalah sebenarnya di balik ”Polemik Sekitar Jurnal
Ilmiah”.
Kita tentu berharap langkah berani Dirjen Dikti dapat
memperbaiki kesalahan masyarakat ilmu kita yang sangat mungkin telah
menjadi penyebab ketertinggalan prestasi kita dibandingkan dengan
negara tetangga. Namun, tulisan Franz Magnis-Suseno yang berdampingan
dengan tajuk rencana tersebut dengan kesimpulan yang sangat
berseberangan menggelitik hati saya untuk mempertanyakan hakikat
seberkas makalah ilmiah yang jadi pokok soal. Saya khawatir hakikat ini
telah dilupakan.
Hakikat makalah ilmiah
Pada
hakikatnya, seberkas makalah ilmiah tak lebih dari sebuah laporan
hasil salah satu kegiatan tridarma perguruan tinggi: penelitian dalam
bentuk ringkas, tetapi padat dan mengikuti kaidah yang telah disepakati
komunitas penelitian itu. Tentu jika ada pelaporan harus ada penerima
dan pemeriksa laporan. Siapa lagi yang kompeten memeriksa laporan itu
jika bukan kolega sejawat dan sebidang yang sangat paham makna hasil
penelitian itu.
Karena laporan itu bersifat ilmiah, kebenaran di
dalamnya harus dapat disanggah secara universal, menembus kungkungan
negara, bahasa, bahkan budaya. Itulah tujuan publikasi makalah, terutama
publikasi internasional. Hasil penelitian yang dilaporkan pada
akhirnya harus diakui semua anggota komunitas global sebagai temuan si
pelapor jika tak ada lagi, atau paling sedikit minim, gugatan.
Makalah
ilmiah sebagai laporan hasil penelitian kepada komunitas ilmiah sudah
menjadi prosedur baku sejak lebih dari 100 tahun lalu. Boleh dibilang,
proses ini telah menjadi bagian integral dari kegiatan ilmiah, bahkan
sudah menghasilkan produk sampingan berupa faktor dampak, indeks-h,
indeks-g, dan sebagainya yang bertujuan mengukur seberapa penting
laporan ilmiah tadi.
Lazimnya para penyandang dana penelitian tak
begitu paham detail hasil penelitian yang mereka danai. Mereka harus
berkonsultasi dengan kolega sejawat peneliti. Cara paling praktis tentu
saja melihat apakah hasil penelitian itu dapat ”menembus” pemeriksaan
ketat kolega itu: berhasil diterbitkan di jurnal standar komunitasnya.
Karena kebenarannya universal, komunitasnya harus global.
Jika
penelitian didanai masyarakat, masyarakat yang relatif awam terhadap
penelitian itu juga berhak bertanya apakah dana yang mereka bayar
melalui pajak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Jika produk
penelitian adalah barang jadi yang dapat langsung dilempar ke industri
atau paten, pertanyaan tentang manfaat segera terjawab.
Namun,
bagaimana halnya dengan produk berupa simulasi, metode, teori, pandangan
filsafat, atau ideologi baru yang boleh jadi di negara ini hanya
segelintir orang yang mengerti makna pentingnya? Jika hasil penelitian
sudah dimuat di jurnal internasional, para juri jurnal itulah yang
mengambil alih tugas menjawab pertanyaan ini.
Di dekat kota Osaka,
Jepang, tersua fasilitas sinkrotron bernama SPRING8 yang dibangun
dengan dana sekitar Rp 12 triliun dengan biaya operasional per tahun
sekitar Rp 1 triliun. Siapa yang menanggung biaya ini kalau bukan
Pemerintah Jepang dan pengguna fasilitas.
Namun, ada kebijakan
unik di sana. Jika hasil penelitian pema- kai fasilitas dipublikasikan,
pemakai tak dikenai biaya. Jika hasil penelitian dirahasiakan, pemakai
dikenai biaya yang dihitung per jam! Unik, tetapi pesannya jelas. Jika
dipublikasikan, hasil penelitian menjadi public goods, sudah
dipertanggungjawabkan kepada khalayak. Sementara itu, hasil penelitian
yang dirahasiakan akan selamanya menjadi milik si peneliti. Masuk akal
jika ia harus membayar untuk itu.
Sekarang pertanyaan kita: apa
sebenarnya tujuan penelitian di perguruan tinggi? Karena kegiatan di
perguruan tinggi adalah proses transfer dan pengembangan ilmu, sejatinya
mayoritas penelitian perguruan tinggi bersifat pengembangan ilmu yang
cakupannya sangat spesifik, hanya diketahui segelintir manusia di
negara ini. Maka, agar kebenaran hasilnya dapat diperiksa, ia harus
dipublikasikan (secara internasional).
Ironisnya, mayoritas
masyarakat perguruan tinggi kita sudah lama dan terbiasa meninggalkan
budaya ilmiah ini. Contoh paling jelas, meski akhir-akhir ini sudah
mulai dikurangi, produk sebuah penelitian cukup berupa laporan tebal
plus laporan keuangan. Kalaupun ada review hasil penelitian, sudah lazim
pula jika pelakunya tak sebidang dan tak tahu persis apakah hasil
penelitian yang dilaporkan bermakna saking spesifiknya penelitian itu.
Itulah pola yang sudah berlangsung lama dan telah membuat kita terjebak
dalam ketertinggalan ilmu yang sangat parah.
Tak perlu digugat
lagi betapa banyak manfaat publikasi ilmiah, terutama publikasi
internasional: klaim hak cipta, mempercepat pengembangan ilmu, mencegah
plagiarisme, membangun komunikasi dan kerja sama ilmiah, menjaga mutu
penelitian dan lulusan perguruan tinggi, serta menjaga eksistensi
peneliti Indonesia di komunitasnya.
Yang terakhir ini juga penting
sebab saya sering menghadapi sapaan basa-basi saat berkenalan dengan
kolega dari negara maju: ”Oh, you are from Indonesia! Nice to meet you,
I’ve never seen an Indonesian scientist is working in this field
before.”
Publikasi mahasiswa?
Menulis
makalah di sebuah jurnal ilmiah merupakan bagian integral dari proses
pengembangan ilmu. Jadi, harus juga dikenalkan kepada mahasiswa. Mereka
yang pernah mengenyam pendidikan S-3 di negara maju tahu persis bahwa
hampir semua tesis di sana dipublikasikan di jurnal internasional. Hal
ini sudah berlaku di negara tetangga.
Untuk program S-2,
kondisinya berbeda. Di Inggris, S-2 dapat ditempuh tanpa tesis. Di
Jerman, isi sebuah Diplomarbeit umumnya dapat dipublikasikan di jurnal
internasional karena dikerjakan secara serius selama satu tahun.
Bagaimana
dengan S-1? S-1 unik karena ia bukan tingkat bachelor ataupun master.
Karena S-1 merupakan bagian formal dari institusi ilmiah, budaya ilmiah
pun sepatutnya diterapkan meski tingkat penerapannya berbeda dengan
S-2 dan S-3. Jika tidak, kita harus berhenti menganggap seorang sarjana
berbeda dengan lulusan sekolah vokasi.
Sebagai kesimpulan, usul
Franz Magnis-Suseno agar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste untuk
memfasilitasi pembuatan jurnal internasional ala Indonesia jelas salah
besar. Justru kewajiban kita membuat publikasi mahasiswa S-3 memenuhi
kualitas standar jurnal internasional yang sudah mapan sehingga mutu
lulusan S-3 kita tak perlu dipertanyakan.
Selama ini kita dan
generasi pendahulu kita sudah membuat kesalahan besar dalam pengembangan
budaya ilmiah di perguruan tinggi yang, jika tak segera dibenahi, akan
meruntuhkan bangunan peradaban bangsa ini. Pembenahan harus
multilevel, bahkan mungkin dari tingkat pendidikan anak usia dini
sekalipun. Namun, jelas pembenahan harus mulai dari detik ini. Jangan
menunggu lagi.
Terry Mart Pengajar Fisika FMIPA UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar